ASURANSI SYARIAH DALAM PANDANGAN FIQH
Oleh: Edi Susanto, M.Pd.
I. PENDAHULUAN
Islam sebagai pranata sosial yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan
nilai bagi kehidupan manusia telah berada dalam struktur kehidupan semenjak 15
Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Awal
babak baru (new era) bagi dunia kemanusiaan telah dimulai. Muhammad SAW sebagai
seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan kehidupan yang baru dalam
struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan terarah pada satu fokus
yaitu tatanan kehidupan yang diseseuaiakan dengan nilai dan ajaran Islam. Di
ataranya dalam bidang muamalah yang dalam hal ini dikhusukan pada bidang
asuransi Islam.
Kajian tentang asuransi dalam literatur keislaman di Indonesia termasuk sesuatu
yang langka dan jarang ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang ekonomi
Islam. Banyak penulis ekonomi Islam lebih menyukai fokus kajiannya terhadap
masalah yang berkenaan dengan perbankan Islam dibanding kajian asuransi Islam.
Padahal kajian mengenai asuransi terlahir satu “paket” dengan kajian perbankan
Islam, yaitu bersama-sama muncul ke permukaan tatkala dunia Islam tertatrik
untuk mengkaji secara mendalam apa dan bagaimana cara mengaktualisasikan konsep
ekonomi Islam dalam tataran kelembagaan.
Pilihan tendensius tersebut lahir dengan mengedepankan lembaga keuangan
perbankan dan asuransi sebagai model dalam mengkaji ekonomi Islam secara
kelembagaan. Dapatlah dijadikan acuan dari beberapa tulisan para ekonom Muslim
kontemporer yang telah memberikan gambaran pada kita tentang keterpaduan kajian
antara lembaga keuangan perbankan dengan lembaga keuangan asuransi dalam sebuah
buku yang dijadikan referensi ilmiah bagai pengembagen ekonomi Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Asuransi
Kata asuransi berasaal dari bahasa Inggris, insurance , yang dalam bahasa Indonesia
telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia
dengan padanan kata pertanggungan. Echols dan Syadilly memaknai kata insurance
dengan (a) asuransi dan (b) jaminan.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai
asuransi sebagai : “suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji
kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti
kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas”.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa asuransi (at-ta’miin) adalah
“transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa
pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.
Herman Darmawi dalam bukunya Manajemen Asuransi memberikan definisi asuransi
dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis,
sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika. Lebih lanjut Darmawi
menyatakan bahwa asuransi merupakan bisnis yang unik, yang di dalamnya terdapat
kelima apsek tersebut.
Definisi asuransi menurut UU Republik Indonesia No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian BAB I pasal 1: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penganggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian kerusakan, kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupya
seseorang yang dipertanggungkan.
Islam memandang “pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial uang dibentuk
atas dasar saling tolong menolong dan rasa kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan
pilihan kata yang dipakai oleh Mohd. Ma’sum Billah untuk mengartikan
“pertanggungan” dengan kata *C’AD, yang mempunyai arti “shared responsibility,
shared guarantee, responsibility, assurance or surety “ (saling bertanggung
jawab, saling menjamin, saling menanggung)’. Secara definitif, Billah memaknai
“takaful“ dengan mutual guarantee provided by a group of people living in the
same society games against a defined risk or catastrophe befalling one’s life,
property or any form of valuable things (jaminan bersama yang disediakan oleh
sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhadap
resiko terhadap bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda atau segala
sesuatu yang berharga).
B. Melacak akar sejarah dan perkembangan Asuransi.
Secara historis, kajian tentang ”pertanggungan” telah dikenal sejak zaman
dahulu dipraktekkan masyarakat. Hal ini dikarenakan nilai dasar penopang dari
konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk tolong menolong sudah ada
bersama dengan adanya manusia.
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi di mana
manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara
lain kekurangan bahan makanan terjadi pada zaman mesir kuno semasa raja Fir’aun
berkuasa.
Pada tahun 2000 sebelum Masehi para saudagar dan aktor Italia membentuk
Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para
janda dan anak-anak yatim dan para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa
yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian
yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Romawi.
Dalam literatur Islam dikenal dengan konsep ‘aqilah yang sering terjadi dalam
sejarah pra-Islam dan diakui dalam literatur hukum Islam. Jika ada salah satu
anggota suku Arab pra Islam melakukan pembunuhan, maka dia si pembunuh
dikenakan diyat dalam bentuk blood money (uang darah) yang dapat ditanggung
oleh anggota suku yang lain.
Sesuai dengan pemaknaan kata yang diberikan oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan,
bahwa kata ‘aqilah bermakna asabah, yang menunjukkan hubungan kekerabatan dari
pihak orang tua laki-laki pembunuh.Oleh karena ‘aqilah, dimana suku Arab kuno
telah menyiapkan pembayaran uang kontribusi untuk kepentingan si pembunuh
sebagai pengganti kerugian untuk ahli waris korban. Kerelaan seperti ini dapat
disamakan dengan pembayaran premi pada praktik asuransi, sementara kompensasi
pembayaran di bawah ‘aqilah sama dengan penggantian kerugian (indemnity) pada
asuaransi saat ini.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi telah memasuki fase yang
memberikan muatan yang besar pada aspek bisnisnya dibandingkan dengan
nilai-nilai sosial yang terkandung pada asuransi sejak awal. Hal ini terjadi
setelah bisnis asuransi memasuki masa modern.
Wiiliam Gibbon adalah warga negara Inggris yang pertama kali memperkenalkan
praktik asuransi dalam istrumen perusahaan yang lebih teratur dan tertata
dengan baik. Pada masa tersebut mulai dipakai jasa seorang underwriter dalam
operasional asuransi.
Sejarah asuransi jiwa di Indonesia telah melampaui tiga masa yang dikenal
sebagai masa pendudukan Belanda (sampai maret 1942 mencapai 46 buah yang
beberapa di antaranya di kemudian hari bergabung ke dalam Perusahan Asuransi
yang dimiliki Negara /BUMN), masa Jepang (sampai 17 Agustus 1945, selama tiga
setengah tahun banyak maskapai-maskapai asuransi yang ditutup dan gulung tikar
karena kondisi ekonomi yang demikian terpuruk) dan masa Indonesia Merdeka (17
Agustus 1945 hingga saat ini, pada masa ini juga tercatat peleburan
perusahaan-perusahaan asuransi jiwa milik Belanda ke dalam perusahan negara
yang dikuasai Pemerintah. Dewan Asuransi Indonesia (DAI) mencatat sampai dengan
tahun 2004 perusahaan-perusahaan asuransi jiwa di Indonesia berjumlah 60
perusahaan, yang terdiri dari Badan Usaha Milik Negara, Swasta Nasional, dan
perusahaan patungan (joint venture).
Sejarah asuransi jiwa di Indonesia, bukan merupakan suatu jalan mulus yang
dapat dilalui dengan lancar, di dalamnya tercatat bagaimana usaha ini diterpa
oleh banayaknya badai karena krisis ekonomi.
C. Prinsip Dasar Asuransi
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan
perasuransian dimanapun berada, yaitu (a) Insurable interest (kepentingan yang
dipertanggungkan), (b) Utmost good faith (kejujuran sempurna), (c) Indemnity
(Indemnitas), (d) Subrogation(Subrogasi), (e) Contribution(kontribusi),
(f)Proximate Cause (Kausa Proksimal).
D. Manajemen Asuransi
Sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan keuangan, semacam asuransi
akan berjalan dengan baik dan mempunyai kinerja yang sehat jia dikelola dengan
menajemen yang baik sesuai dengan norma peraturan yang berlaku. Manajemen
asuransi adalah sebuah acara dalam mengelola perusahaan asuransi supaya
operasionalnya berjalan dengan baik dan dapat diharapkan menghasilkan return
positif bagi perusahaan beserta para staf yang bekerja di dalamnya.
Ada empat model dalam melakukan kegiatan manajemen risiko yaitu : (a)
menghindari risiko, (b) mengontrol risiko, (c) menerima risiko dan (d)
mentransfer risiko.
Dalam asuransi harus menganut teori dasar bahwa segala sesuatu diarahkan untuk
memproteksi keadaan di masa mendatang yang belum pasti terjadi atas sebuah
risiko yang berkaiatan dengan nilai aktivitas ekonomi seseorang. Menghadapi
masa yang akan datang (future time) merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipungkiri oleh manusia, walaupun dalam wujudnya keadaan yang akan terjadi
mendatang belum jelas realitanya.
E. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam
1. Nilai Filosofis Asuransi Syariah
Ada dua kata kunci utama yang menjadi pembahasan dalam bab ini, yaitu :
asuransi dan hukum Islam. Kata asuransi menjadi domein pertama yang
mengharuskan bagi domein kedua (hukum Islam) untuk memberikan tinjauan serta
pembahasan yang mendalam terhadap asuransi.
Dengan didasarkan pada sebuah asumsi awal yang menjelaskan bahwa dalam ajaran
Islam telah sempurna dan mempunyai nilai universal serta mencakup seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehidupan menusia telah dijamin adanya norma yang mengatur aktivitas kehidupan
tersebut. Selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.
أليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم
نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر فى مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور
رحيم (المائدة : 3)
Artinya : “…pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu,
maka siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang …”
Nilai filosofis yang membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prinsip
dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dibekali
dengan dua kekuatan, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan (ruh) yang
cenderung berbuat baik dan kekuatan pembentuk yang berasal dari materi (unsur
tanah).
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas yang demikian
berat, manusia dituntut untuk memberikan kemakmuran dan ketenteraman di alam
semesta, bukan sebaliknya yang dikhawatirkan oleh malaikat sebagai mahkluk yang
membawa bencana atau malapetaka di muka bumi.
Manusia dituntut untuk mengadakan persiapan secara matang dalam menghadapi
masa-masa sulit jikalau menimpanya pada masa yang akan datang. Jadi, prinsip
dasar inilah yangmenjadi tolok ukur dari nilai filosofi syariah yang berkembang
pada saat ini. Yaitu dalam bentuk semangat tolong menolong, bekerja sama dan
proteksi terhadap peristiwa yang akan membawa kerugian.
2. Landasan Asuransi Syariah
Karena asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang
didasarkan pada nilai-nilai yanag ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Quran dan
Sunnah, maka landasan yang dipakai di dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan
metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam.
Jumhur Ulama memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah
dari suatu masalah, dalam hal ini subjeknya adalah lembaga asuransi. Landasan
yang digunakan dalam memberi nilai legalisasi dalam praktik bisnis asuransi
adalah : al-Qu’ran, walaupun tidak secara tegas dijelaskan dalam ayat-ayatnya,
namun diakomodir dalam ayat-ayat yang mempunyai nilai dasar yang ada dalam
praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong menolong, kerja sama atau semangat
untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa datang. Di antaranya
: Surat Al-Maidah ayat 2;
وتعاونوا على البر والتقوى ولا
تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب.
Artinya : .. dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Ayat ini memuat perintah tolong menolong antara sesama manusia. Dalam bisnis
asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah)
perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana
sosial (tabarru’) yang berbentuk rekening pada perusahaan asuransi dan
difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami
musibah (peril).
Ayat 185 surat al-Baqarah:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم
العسر
Artinya : … Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki
Allah, maka dari itu manusia dituntun oleh Allah SWT agar dalam setiap lagkah
kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri.
Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya
lembaga asuransi seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan
kehidupannya di masa mendatang dan dapat melindungi ekonominya dari sebuah
kerugian yang tidak disengaja.
Masih banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang asuransi walaupun tidak secara
tekstual disebutkan , di antaranya surat al-Baqarah ayat 26, Yusuf ayat 46-49,
at-Taghabun ayat 11, Luqman ayat 34, Ali ‘Imran ayat 37, 145 dan 185, dan
an-Nisa ayat 7.
Yang kedua Sunnah Nabi, yaitu hadits riwayat Bukhari tentang ‘aqilah (kerabat
dari orang tua laki-laki) yang telah menjadi tradisi di arab untuk menanggung
denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap
anggota suku yang lain. Penanggungan bersama oleh ‘aqilahnya merupakan suatu
kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi.
Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antara
anggota suku.
Hadits tentang niat yang masih umum, jika dikaitkan dengan bisnis asuransi yang
perlu diperhatikan adalah niat sesorang ikut serta di dalamnya harus meluruskan
niat niatnya dengan memberikan motivasi pada dirinya, bahwa dia berasuransi
hanya untuk saling tolong-menolong dan bantu-membantu antara sesama anggota
asuransi dengan didasari untuk mencarai keridhaan Allah SWT.
Dan masih banyak hadits lain, di antaranya tentang anjuran menghilangkan
kesulitan orang lain, anjuran meninggalkan keturunan yang kaya (dalam praktek
asuransi ialah adanya iuran/premi yang digunakan sebagai tabungan dan dapat
dikembalikan ke ahli warisnya jika pada suatu saat terjadi peristiwa yang
merugikan, baik dalam bentuk kematian nasabah atau kecelakaan diri), hadits
tentang menghindari resiko, hadist tentang perjanjian dan lain-lain.
Ketiga, Piagam Madinah, yaitu peraturan yang dibuat oleh Rasulullah bahwa
seseorang yang menjadi tawanan perang musuh, maka ‘aqilah dari tawanan tersebut
akan menyumbangkan tebusan dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh,
sebagai pesanan yang memungkinkan terbebasnya tawanan tersebut. Hal tersebut
dapat dipertimbangkan sebagai kontribusi dalam bentuk pertanggungan sosial
(social insurance).
Selain hal-hal tersebut masih ada praktik sahabat (Khalifah Umar), Ijma’
Sahabat dan Syar’u Man Qablana serta Istihsan dapat dijadikan sebagai acuan
dari diperbolehkannya asuransi syariah (islam).
3. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Sebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika dibangun
atas pondasi dan dasar yang kuat. Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah
tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep Ekonomika
Islami secara koprehensif dan besifat major. Hal ini disebabkan karena kajian
asuransi syariah merupakan turunan (minor) dari konsep Ekonomika Islami.
Begitu juga, asuransi harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang
kuat serta kokoh. Dalam hal ini prisip dasar aasuransi ada sepuluh macam yaitu:
1. Tauhid (unity), prinsip ini merupakan dasar utama dari setiap bentuk
bangunan yang ada dalam syariah Islam. Setiap aktivitas kehidupan manusia harus
didasarkan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya setiap gerak langkah harus
mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Dalam asuransi yang harus diperhatikan
adalah bagaiamana seharusnya menciptakan suasana muamalah yang tertuntun oleh
nilai-nilai Ketuhanan.
2. Keadilan (justice), harus terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara
pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Harus dipahami sebagai upaya
dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan
asuransi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal.
3. Tolong-menolong (ta’awuun), semangat tolong-mnolong harus menjadi dasar kegiatan
berasuransi antara nasabah (anggota). Dengan niat untuk membantu dan
meringankan beban nasabah lain yang pada suatu ketika mendapat musibah atau
kerugian.
4. Kerjasama (coorperation), sebagai apresiasi dari posisi manusia sebagai
makhluk sosial, nilai kerja sama adalah suatu norma yang tidak dapat ditawar
lagi. Dalam asuransi bentuk kerja sama dapat diwujudkan dalam akad antara
nasabah dan perusahaan asuransi dengan konsep mudharabah atau musyarakah.
5. Amanah (trustworthy), dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi
kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan
yang harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah
dan melalui auditor publik. Begitu pula nasabah harus memberikan informasi yang
benar tanpa manipulasi mengenai kerugian yang menimpa dirinya jika hal itu
terjadi.
6. Kerelaan (al-ridha), kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota/nasabah
asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana
(premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi yang difungsikan sebagai dana
sosial (tabarru’) yang benar-benar digunakan untuk membantu anggota/nasabah
yang lain jika mengalami kerugian.
7. Kebenaran, dalam asuransi meliputi kebenaran materiil maupun formil harus
didasarkan dengan nilai-nilai Islam.
8. Larangan riba, dalam setiap transaksi seorang muslim dilarang memperkaya
diri dengan cara yang tidak dibenarkan .
9. Larangan maisir (judi), yaitu jangan sampai ada salah satu pihak yang
mengalami kerugian, sementara pihak yang lainnya meraup untung. Hal ini tampak
jelas jika pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya
sebelum reversing period, biasanya tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak
akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
10. Larangan Gharar (ketidakpastian), secara bahasa yaitu suatu penipuan
(alkhida’) yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaaan. Dalam
asuransi konvensional gharar terjadi yaitu nasabah tahu berapa jumlah uang
pertanggungan yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa jumlah uang yang akan
dibayarkan (seluruh premi) karena seseorang tidak akan tahu kapan akan
meninggal, karena hal ini tidak dapat dikategorikan dalam aqd tabaddulli atau
akad pertukaran yang harus jelas antara yang diterima dan diserahkan.
4. Akad yang membentuk Asuransi Syariah
Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad
yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam praktiknya asuransi
melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan
kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi. Sesuai
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1.
ياأيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود...
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu”
Akad secara bahasa berarti ar-ribthu atau ikatan, yaitu ikatan yang
menggabungkan antara dua pihak.
As- Syanhuri memberikan tinjauan terhadap pengertian akad di atas dari sudut
qanun (perundang-undangan), bahwa akad adalah kesepakatan antara dua orang untuk
(a) membangun kewajiban, seperti jual beli, (b) memindahkan kewajiban, seperti
hiwalah, (c) mengakhiri kewajiban, seperti akad ibra’ dan akad wafa’.
Prinsip dasar yang membentuk akad ada empat macam dan harus ada pada setiap
pembentukan akad, yaitu : (a) dua orang yang melakukan akad (al-‘aqidaini), (b)
sesuatau (barang) yang diakadkan (mahal al-’aqd), (c) tujuan dari akad (maudhu’
al-‘aqd) dan (d) rukun (arkan al-’aqd), yaitu Ijab dan Kabul.
Lebih lanjut Zarqa memberikan penjelasan tentang pembagian akad dari berbagai
aspek. Di antaranya dari segi penamaan (tasmiyah) yang dibagi menjadi dua,
yaitu (a) musamma, yang telah jelas penamaannya dalam al-Quran dan Sunnah Nabi
SAW dan telah mempunyai hukum tersendiri seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah
dan lain-lainnya., (b) ghairu musamma, yaitu akad yang belum ada penamaannya
secara khusus, seperti akad ba’i al-wafa, aqd al-ijratain, at-tahkir dan lain
sebagainya.
Yang kedua berupa akad pemindahan hak (tabadul al-huquq) yang dibagi menjadi
tiga yaitu (a) akad mu’awadhah, yaitu akad yang didasarkan atas kewajiban
saling mengganti antara kedua belah pihak yang terlibat, contohnya akad jual
beli, ijarah, (b) akad tabarru’at, yaitu akad yang didasarkan atas pemberian
dan pertolongan dari salah satu pihak yang melakukan akad, seperti akad hibah,
i’arah (c) akad yang bermula tabarru’ dan berakhir dengan mu’aradhah seperti
akad qiradh dan akad hibah dengan syarat al-‘irdh.
Yang ketiga akad pertanggungan (dhaman) dibagi menjadi tiga, yaitu (a) akad
dhaman, yaitu suatau akad yang memberikan tanggung jawab kepada penanggung
(al-qabidh) untuk menjaga barang agar tidak rusak, dan jika rusak menjadi
tanggung jawab al-Qabidh, seperti akad jual-beli, akad al-qismah, akad qiradh,
akad al-mukharajah, (b) akad amanah, yaitu akad yang memberikan tanggung jawab
suatu barang (yang dipertanggungkan) pada penanggung untuk dijaga, dan
penanggung (al-qabidh) tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan barang
tersebut kecuali jika ada unsur kesengajaan , seperti akad al-ida’. Akad
al-i’arah, akad as-syirkah, akad al-wakalah dan akad al-washaya, (c)akad
muzadjah al-astar yaitu akad yang sebagian terbentuk dari unsur dhaman dan
sebagian yang lain dari unsur amanah, seperti akad al-ijarah, akad ar-rahn.
Akad yang dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad ghairu musamma
(yang belum ada penamaannya) dan termasuk akad yang baru dalam literatur fiqh.
Dalam beberapa hal ada proses analogi hukum (qiyas) terhadap praktik
operasional asuransi dengan beberapa akad yang telah dikenal (musamma). Salah
satunya adalah akad muwalat, yaitu akad antara dua orang yang tidak terikat
hubungan nasab (keturunan) yang salah satunya mengcover musibah pertanggungan
diyat terhadap peristiwa pembunuhan.
Di sisi lain asuransi juga dapat didasarkan pada akad tabarru’ yaitu akad yang
didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang
lain. Akad tabarru’ merupakan bagian dari tabadul hal (pemindahan hak).
Walaupun pada dasarnya akad tabarru’ hanya searah dan tidak disertai dengan imbalan,
tetapi ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian
yang didasarkan atas prinsip tolong menolong dengan melibatkan perusahaan
asuransi sebagai lembaga pengelola dana.
Akad lain yang dapat diterapkan dalam asuransi adalah akad mudharabah, yaitu
akad yang didasarkan pada prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung
dan rugi), di mana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan (saving)
dapat diinvestasikan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama
antara perusahaan dan nasabah.
5. Pendapat Ulama tentang Asuransi.
Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan hukum asuransi. Secara
garis besar, kontroversial terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua
kelompok, yaitu pertama ulama yang mengharamkan asuransi, dan kedua ulama yang
membolehkan asuransi. Masing-masing kelompok ini mempunyai hujjah (dasar hukum)
dan memberikan alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap pendapat yang
disampaikannya. Di samping itu ada yang berpendapat membolehkan asuransi yang
bersifat sosial (ijtima’i) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
(tijary) serta ada pula yang meragukannya (syubhat).
Pemilahan terhadap kedua kelompok di atas yang dilakukan Masjfuk Zuhdi dapat
menggambarkan secara tegas mana ulama yang mengharamkan asuransi dan mana ulama
yang membolehkan asuransi. Dalam bukunya, “masail fiqhiyyah”, ia menjelaskan di
antara ulama yang mengharamkan asuransi adalah: Sayid Sabiq, Abdullah
al-Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qardhawi, Mahdi Hasan (Mufti Deoband
Saharanpur India), Mahmud Ali (Mufti al-‘Ulum Cawnpur India). Alasan utama
pengharaman asuransi, masih menurut Masjfuk, yaitu premi-premi yang telah
dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba.
Warkum Sumitro memberikan keterangan terhadap yang mengharamkan asuransi dengan
enam alasan, sebagai berikut :
a. Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam
b. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam.
c. Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak secara tunai.
d. Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang
berarti mendahului takdir Allah SWT.
e. Asuransi mengadung ekploitasi yasng bersifat menekan.
Mahdi Hasan melarang praktik asuransi dikarenakan: (a) Asuransi tak lain adalah
riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang
terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya. (b) Asuransi juga adalah
perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko. (c)
Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi, meskipun
milik Negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.
(d) Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi
di dalamnya adalah sesuatu yang tidak dapat dinilai.
Sedangkan para ulama yang membolehkan praktik asuransi diwakili oleh beberapa
ulama, di antaranya adalah ; Ibnu Abidin, Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad
Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Syiria),
Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir),
Syekh Ahmad asy-Syarbashi (Direktur Asosiasi Pemuda Islam), Syekh Muhammad
al-Madani (Dekan di Universitas al-Azhar), Syekh Muhammad Abu Zahrah, dan
Abdurrahman Isa. Argumentasi yang mereka pakai dalam membolehkan asuransi
menurut Fathurrahman Djamil adalah :
a. Tidak terdapat nash al-Qur’an atau Hadits yang melarang asuransi.
b. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
c. Asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan
asuransi.
f. Asuransi termasuk syirkah at-ta’awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada
prinsip tolong-menolong.
Abu Zahrah berpendapat lain, bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan
karena jenis asuransi ini tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang di dalam
Islam (alasannya yaitu sesuai dengan pendapat ulama yang membolehkan asuransi)
. Sedangkan asuransi yang bersifat komersil (tijary) tidak diperbolehkan karena
mengandung unsur-unsur yang dilarang Islam (alasannya sesauai dengan ulama yang
mengharamkan asuransi).
Sedangan kelompok lain yang berpendapat bahwa praktik operasional asuransi
adalah sesuatu yang syubhat (tidak jelas hukumnya) beralasan karena tidak
ditemukannya dalil-dalail syar’i yang secara khusus jelas mengharamkan atau
menghalalkan asuransi. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam
berhubungan dengan asuransi.
Jadi ulama yang mengharamkan asuransi bersikap keras dan tegas menyatakan
perang terhadap asuransi, dan berpendapat bahwa kontrak asuransi secara
diametris bertentangan dengan standar-standar etika yang ditetapkan oleh hukum
Islam. Asuransi berbahaya, tidak adil dan tidak pasti.
Kelompok ulama yang membolehkan asuransi tidak tinggal diam, sebaliknya
mengajukan bantahan argumentasi yang secara terperinci sebagai berikut :
a. Asuransi bukan perjudian dan bukan pertaruhan, karena didasarkan pada
prinsip mutualisme dan kerja sama yang melindungi dari bahaya yang mengancam
jiwa dan harta serta memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industri.
Sedangkan perjudian adalah suatu permainan keberuntungan.
b. Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena menyebabkan
perselisihan, sedangkan asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika
disertai dengan satu ganti rugi yang pasti yairu berupa keamanan yang dirasakan
oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilan.
c. Asuransi bukan alat untuk menolak kekuasaan Allah atau menggantikan
kehendaknya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu peristiwa yang tidak
terjadi, tetapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi terhadap
akibat-akibat dari sutau peristiwa atau risiko yang sudah ditentukan. Kematian
adalah hal yang sudah pasti datangnya, oleh karena itu dengan asuransi bisa
diambil langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dengan cara
saling menolong dan membantu.
d. Keberatan menganai tidak tentunya asuransi jiwa dalam arti bahwa peserta
asuransi tidak mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang dibayarnya sampai
kematiannya adalah tidak beralasan. Cicilan yang tidak tentu dalam asuransi
jiwa tidaklah mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak
manapun, karena jumlah dari tiap cicilan menjadi diketahui ketika dibayar dan
begitu pula jumlah total dari semua cicilan pada saat semuanya sudah dibayar.
e. Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa, tak berguna, Karena asuransi
ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah
dibayarnya.
Lain halnya dengan Syekh Muhammad al-Madni, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad
as-Syarbasyi, dan Muhammad Yusuf Musa sama-sama membolehkan asuransi jika di
dalam praktiknya terhindar dari unsur riba. Yusuf Musa lebih lanjut berkomentar
bahwa asuransi dalam segala jenisnya adalah contoh kerja sama dan berguna bagi
masyarakat. Asuransi jiwa bermanfaat bagi peserta asuransi dan juga bagi
perusahaan asuransi. Karenanya tidak ada ruginya menurut hukum Islam jika ia
bebas dari bunga, yakni peserta asuransi hanya mengambil yang sudah
dibayarkannya tanpa tambahan apapun jika ia hidup lebih lama dari masa
asuransi, dan jika ia mati maka ahli warisnya mendapat konpensasi. Ini sah
menurut hukum Islam.
III. PENUTUP.
A. Kesimpulan
1. Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa dalam praktik asuransi paling tidak
ada dua akad yang membentuknya, yaitu, akad tabarru; dan akad mudharabah. Akad
tabarru’ terkumpul dalam rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan
untuk saling menaggung (takaful) peserta asuransi yang mengalami musibah
kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud tatkala dana yang terkumpul dalam
perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan
menghasilkan keuntungan (profit). Karena landasan dasar yang awal dari akad
mudharabah ini adalah prinsip profit and loos sharing, maka jika dalam
investasinya mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi bersama
sesuai dengan porsi (nisbah) yang disepakati. Sebaliknya jika dalam ivestasinya
mengalamai kerugian (loss and negative return) maka kerugian tersebut juga
dipikul bersama-sama antara asuransi dan perusahaan.
2. Sebagai alternatif untuk mencari jalan keluar (way out) penulis memberikan
solusi dalam bentuk pemikiran yang mengacu pada (hujjah) pemikiran dari kedua
belah pihak, yakni:
a. Asuransi dengan segala bentuknya diperbolehkan jika terbebas dari unsur
riba, maisir dan gharar, seperti yang menjadi dasar pemikiran kelompok ulama
yang mengharamkan asuransi selama masih ada unsur ribanya.
b. Jumlah yang dibayarkan berdasarkan polis asuransi diinvestasikan berdasarkan
prinsip mudharabah (dimana pemberi pinjaman ikut menanggung keuntungan maupun
kerugian), untuk usaha-usaha komersial. Sebagai pengganti bunga yang ditentukan
sebelumnya, keuntungan dibagikan sebagaimana umumnya dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan komersial.
c. Untuk menjalankan bisnis asuransi dalam bentuk koperasi, para pemegang polis
diikat dengan persetujuan mereka untuk menyumbangkan sebagian keuntungan mereka
(sepertiga atau seperempat) untuk dana cadangan dalam bentuk wakaf yang akan
digunakan di bawah peraturan-peraturan khusus untuk membantu orang-orang yang
menjadi korban kecelakaan.
d. Jika terjadi kecelakaan, bantuan diberikan hanya kepada mereka yang terikat
oleh kontrak ini dan para pemegang saham perusahaan.
e. Jumlah asli ditambah dengan keuntungan diberikan kepada setiap pemegang
saham yang akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan dana cadangan akan tetap
sebagai wakaf (tabarru’).
B. Saran
Diperlukan Dewan Pengawas Syariah independent (DPS) yang fungsinya betul-betul
mengontrol operasional sebuah perusahaan asuransi, apakah akad dan
produk-produk yang dikeluarkan perusahaan tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teorirtis, dan Praktis, Jakarta : Prenada Media, 2004, Ed. 1, Cet. 1
Billah, Mohd. Ma’sum, Principles and Practices of Takaful and Insurance
Compared, Kuala Lumpur : IIUM Press, 2001.
Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Kitab Diyat, No. 45
Dahlan, Abdul Aziz, dkk (editor ), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiyar
Baru van Hoeve, 1996.
Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, Jakarta : Bumi Aksara, 2001, Cet. ke-3
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta :
Logos, 1995
Echols, Jhon M., dan Hassan Syadilly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta :
Gramedia, 1990
Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, (terj. Oleh Burhan
Wirasubrata), Menggugat Asuransi Modern; mengajukan suatu alternatif baru dalam
perspektif hukum Islam, Jakarta : Lentera, 1999, Cet. ke-1
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme, Jakarta : Bulan Bintang, 1985
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta : Intermasa, 1987
Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam, (terj. Soeroso Nastangin),
Doktrin Ekonomi Islam ,Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1996, Jilid 4
Syafi’, Muhammad (Mufti dar al-“Ulum Karachi Pakistan).
Syanhuri, As-, Nazhariyyah al-‘Aqd, h. 77-80
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait di
Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997
Zarqa, Mustafa Ahmad, az-, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Beirut : Dar al-Fikr,
1968). Juz. I
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, 1989
Comments
Post a Comment