GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH
GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM
OLEH:
EDI SUSANTO
14146310006
PRODI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
Semester
III A
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM
(IAIN) NEGERI
SYEH NURJATI CIREBON
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta
Karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Gender dalam Persepektif Islam”.
Diharapkan
Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua untuk memahami gender
dalam kecamata islam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
CIrebon 2015
Penulis:
BAB I
PENDAHULUAN
aA. Latar Belakang
Masalah
kesadaran gender dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia
telah mencuat ke permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini
mengabaikan perempuan digugat; dan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan
pelaksanaannya dilakukan.
Salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan
bermacam-macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Seringkali
gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan),
dan pembagian jenis kelamin laki-laki
dan perempuan ini serta peran dan tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat
sedemikian rupa dan berlalu dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad,
sehingga lama kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang gender dan mana yang sex. Bahkan peran
gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang
diberikan Tuhan.
Sebagai akibat
dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan
perempuan, baik secara langsung berupa perlakuan/sikap, maupun tidak langsung
berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan ini telah mengakar dalam
sejarah, adat istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidakadilan
ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang
ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak
hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki;
walau secara menyeluruh ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih
banyak menimpa kaum perempuan.
Perbedaan
secara biologis antara laki-laki dan perempuan telah mempunyai impelementasi
dalam kehidupan sosial budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam
bawah sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis, seperti
penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga
menjadi atribut gender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran
sosialnya dalam masyarakat.
Maka atas dasar
inilah perlu kiranya terus menerus memberikan pemahaman yang kuat sehingga tak
akan ada pemahaman yang salah pada perbedaan yang telah ada, maka dari itu
untuk memperdalam pembahasan ini akan dibahas pada makalah ini dengan judul “
Gender dalam Persepektif Islam “, lebih jelasnya pada pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada Latar belakang diatas, dari beberapa uraian
maka perlu kami memberibatasan pembahasan dengan mengambil beberapa rumusan
masalah untuk mengacu pada pembahasan yang akan dibahas pada bab II, yaitu :
1. Apa Definisi Gender?
2. Bagaimana Gender dalam perspektif Islam?
C. Manfaat
Penulisan
Penulisan makalah diharapkan memberikan manfaat pada
semua pihak baik teoritis maupun praktis. bermanfaat pada pada lembaga sekolah,
peneliti, praktisi pendidikan, maupun
penulis pribadi agar memahami gender menurut kecamata islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Gender
Untuk mengetahui definisi gender ini perlu kita
membedakan dua kata yang sampai saat ini banyak orang menyalahartikan makna
gender, yakni gender dan sex.
1. Gender
Kata
gender berasal
dari bahasa Inggris gender, dalam kamus bahasa inggris-indonesia berarti
jenis kelamin. Sedangkan dalam Webster’s
New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Gender asal kata Gen perbedaan peran,
tugas, fungsi, dan tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki dan
perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya (konstruksi sosial)
yang dapat diubah dan berubah sesuai kebutuhan atau perubahan zaman (menurut
waktu dan ruang).
Gender adalah
konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya
masyarakat. Gender adalah pembagian peran dan
tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang
dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Gender
bukanlah kodrat dan ketentuan Tuhan.
Oleh karena itu gender berkaitan dengan bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur oleh
ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender
adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki
sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa Gender :
a. Konstruksi/bentuk social
b. Tidak dimiliki sejak lahir
c. Bisa dibentuk / bisa berubah
d. Dipengaruhi :
o Tempat
o Waktu / zaman
o Suku / ras / bangsa
o Budaya
o Status
sosial
o Pemahaman
agama
o Ideologi
negara
e. Karena itu Gender
o Bukan
kodrat
o Dibuat
manusia
o Bisa
dipertukarkan
o Relatif
2. Sex
Pengertian sex adalah pembagian jenis kelamin yang
terdiri dari perempuan dan laki-laki, yang telah ditentukan oleh Tuhan, sebagai
kodrat Allah Swt. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat
dilihat baik dari ciri fisik primer maupun ciri fisik sekunder dari organ dan
fungsi reproduksinya. Karenanya seks relatif tidak dapat ditukar atau diubah.
Ciri-ciri
laki-laki dan perempuan dapat dillihat dalam matrik berikut ini:
Laki-laki
|
Perempuan
|
|
Primer
|
-
Penis
-
Kantung zakar (Scotrum)
-
Buah zakar (testis)
-
Sperma/mani
-
Prostat (kelenjar) pengaturan pengeluaran sperma dan air
seni / kelenjar kemih
|
-
Vagina (liang senggama)
-
Ovarium (indung telur)
-
Ovum (sel telur)
-
Uterus
-
Menyusui
-
Haid
-
Rahim
|
Sekunder
|
-
Bulu dada / tangan
-
Jakun
-
Suara berat
-
Berkumis
|
-
Kulit halus
-
Suara lebih bernada tinggi
-
Dada besar
|
Uraian di atas memberikan
kesimpulan kepada kita bahwa Sex :
a.
Bawaan
b.
Kodrat
c.
Buatan Tuhan
d.
Mutlak
e.
Tidak dipengaruhi
oleh
·
Tempat
·
Waktu / zaman
·
Ras / suku/bangsa
·
Budaya
·
Negara ideologi
Karenanya: tidak bisa berubah, tetap dan hanya dimiliki laki-laki
saja atau perempuan saja (nature). Untuk memperjelas perbedaan antara
gender dan sex dapat dilihat pada skema berikut ini;
Gender
|
Sex
|
Dapat berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung waktu
Tergantung budaya setempat
Bukan merupakan Kodrat Tuhan
Buatan manusia
|
Tidak dapat berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Merupakan Kodrat Tuhan
Ciptaan Tuhan
|
Pemahaman atas konsep gender sesungguhnya
merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah hubungan antara kaum
perempuan dan kaum laki-laki, atau masalah hubungan kemanusiaan kita.
B. Gender dalam Persepektif Islam
Sebelum
menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap gender, perlu dikemukakan
terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara umum terhadap perempuan,
terutama sebelum turunnya kitab suci Al-Qur’an. Kemudian baru ditelaah bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap gender, serta bagaimana
penafsiran ulama terdahulu dan kontemporer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Sejarah telah menginformasikan bahwa sebelum diturunkannya kitab
suci Al-Qur’an, berbagai peradaban umat
manusia telah berkembang sedemikian
rupa, seperti halnya peradaban bangsa Yunani, Romawi, India, Cina dan yang
lainnya. Dan juga sebelum datangnya agama Islam, telah datang terlebih dahulu
berbagai agama, seperti agama Zoroaster, Buddha, dan yang paling belakangan
adalah agama Yahudi dan Nasrani.
Pada puncak
peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat penghargaan yang adil, karena mereka
dianggap alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi kebebasan
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para
perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di
Eropa adalah merupakan bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda dengan Yunani, menjadikan
perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin,
kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual,
mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa tragis ini berlangsung sampai pada
abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi hak milik keluarganya yang
laki-laki.
Pada zaman
Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya
hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap transaksi
harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga (suami/ayah).
Peradaban Hindu
dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup bagi seorang perempuan yang telah
bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri terkadang harus
dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir
pada abad XVII Masehi.
Sepanjang abad
pertengahan nasib perempuan tetap sangat memperihatinkan, sampai dengan tahun
1805 perundang-undangan Inggris masih mengakui hak suami untuk menjual
istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum lagi
mempunyai hak kepemilikan harta benda secara penuh, termasuk hak menuntut ke
pengadilan.
Untuk dapat
mengetahui keberadaan dan peran yang dimainkan Islam, diperlukan pemahaman
mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa Arab menjelang dan ketika
Al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat dipahami secara utuh setelah
memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan boleh jadi, sejumlah ayat
dalam Al-Qur’an (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan gender), dapat disalah pahami
tanpa memahami latar belakang sosial budaya masyarakat Arab. Justru itu sebelum
membahas lebih jauh, perlu diperkenalkan secara umum kondisi geografis dan pola
kehidupan mereka yang tentunya ikut mengambil peran dalam proses pembentukan
budaya masyarakat Arab.
Jazirah Arab
mempunyai daerah yang cukup luas, dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari
padang pasir. Hanya sebagian kecil wilayahnya di bagian selatan dan utara,
daerah yang subur. Posisi geografisnya yang jauh dari pusat-pusat kerajaan
besar dan kondisi alamnya yang sulit dijangkau, menyebabkan kawasan ini luput
dari cengkeraman 2 (dua) imperium besar Romawi dan Persia.
Mata
pencaharian penduduk kebanyakan beternak bagi mereka yang mendiami kawasan
tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan yang subur.
Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran dalam
masyarakat sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam. Laki-laki
bekerja sebagai pencari nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan dan
kehormatan kabilah (sektor publik), dan perempuan bekerja mengasuh anak dan
mengatur urusan rumah tangga (sektor domestik).
Pada masa
Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak diterima sepenuh hati oleh
masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam oleh Al-Qur’an, mulai dari
sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai pada sikap yang paling
parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.
Agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah memperjuangkan dan berhasil
meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya mereka tertindas. Kaum perempuan yang sebelumnya tidak
menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh Islam diberikan
porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan perempuan sebagai
makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan tanggungjawabnya yang adil
dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan Muslimah pada masa-masa
berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami perlakuan yang berbeda dan
diskriminatif, juga telah menjadi
catatan historis dan kajian para ahli.
Al-Qur’an,
sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah menegaskan ketika Allah Yang
Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di dalamnya, laki-laki dan
perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering digunakan Al-Qur’an untuk
menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas, serta bani
adam. Masing-masing kata ini merujuk
makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi ahsan taqwim), meskipun memiliki
potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya (asfala safilin),
namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini mencakup laki-laki dan
perempuan.
Al-Qur’an, yang
diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal pembedaan antara kata-ganti (dhamir/pronoun) laki-laki
dan perempuan, baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab), maupun sebagai orang ketiga (ghaib),
namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam
tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua
atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam, assalamu
‘alaikum, misalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup
juga audiensi perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna
yang secara langsung menunjuk kaum
perempuan.
Berbicara
mengenai prinsip kesadaran gender dalam perspektif Islam, setidaknya kita dapat
mengajukan 5 (lima) variable yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menguji
bagaimana kitab suci Al-Qur’an memberitakan pemahaman terhadap gender...
1. Sebagai hamba Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa salah satu tujuan penciptaan
manusia adalah untuk menyembah kepadaTuhan. Dalam kapasitas manusia sebagai
hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai
potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam
Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun),
dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
2. Sebagai khalifah di bumi. Maksud dan tujuana penciptaan manusia di muka bumi ini
adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh
serta mengabdi kepada Allah SWT, juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ard).
Kata khalifah tidak
menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.
Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan
mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana
halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
3. Sebagai penerima perjanjian/ikrar
ketuhanan yg sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengamban
amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui,
menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu
harus menerima perjanjian dengan Tuhannya
4. Sebagai hamba yang punya tanggung
jawab. Semua ayat yang memuat cerita
tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi selalu
menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk
dua orang هما(huma) yakni kata ganti untuk Adam dan
Hawa
5. Sebagai hamba yang berpotensi meraih
prestasi. Peluang untuk meraih prestasi
maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kelima variable di atas memberikan informasi bahwa
penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan substansi
antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun antara keduanya mempunyai perbedaan
maka substansi perbedaannya tidak pernah ditonjolkan. Ini mengisyaratkan bahwa
Al-Qur’an mempunyai pandangan yang cukup positif terhadap perempuan.
Keberhasilan
Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar peradaban Islam didasarkan atas
kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga keluarga yang dibangun dalam
prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan resiprositas luhur (mu’asyarah
bi al-ma’ruf) untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Nabi Muhammad SAW. mengangkat derajat perempuan dengan memperkuat landasan
teologis-spiritual, dan merombak iklim kultural yang berkembang serta
menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya serta dalam kebijakan
pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam Islam dengan praktek
Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.
Jika demikian
halnya mengapa ada dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang membedakan perlakuan terhadap
perempuan? Untuk mengawali, patut diingat bahwa membedakan perlakuan bukan
berarti memperlakukan seorang secara tidak adil. Keadilan (justice) tidaklah
identik dengan persamaan (equality).
Dalam kajian filsafat, jauh sebelum Islam, Aristoteles sudah mengulas
konsep keadilan yang dapat disimpulkan pada prinsip treating equals equally’
(memperlakukan mereka yang sama secara sama).
Memperlakukan
mereka yang sama secara berbeda tentu ketidakadilan. Namun jika mereka memang
tidak sama, malah jika diperlakukan sama (treating unequals equally),
maka ketidakadilan yang terjadi. Atau, mereka yang sama diperlakukan berbeda (treating
equals unequally), tentu kezaliman yang muncul. jadi mereka harus diperlakukan secara sama dalam aspek-aspek yang
mereka sama, serta mesti diperlakukan berbeda, aspek-aspek yang memang mereka
berbeda.
Tanpa harus
masuk dalam kompleksitas penafsiran dan reinterpretasi terhadap ayat-ayat di
atas dan yang sejenisnya, ada dua hal pokok yang patut dicermati. Pertama Al-Qur’an sebagai wahyu Allah merupakan hal yang sakral dan
absolut, namun pemahaman, interpretasi dan penjabarannya merupakan hasil jerih
payah para ulama. Kedua ajaran Islam
karena bersumber dari Allah Yang Maha Tahu dan Bijak, tentu seyogianya
merupakan suatu kesatuan yang komprehensif dan tidak kontradiktif antara satu
dengan lain. Dari sisi inilah, beberapa penafsir berupaya menyaring
prinsip-prinsip pokok serta menghimpun nilai-nilai dasar ajaran Islam yang
bersifat universal dan permanen, yang harus dipilah dari ketentuan-ketentuan
yang bersifat temporal dan situasional yang terkait dengan tuntutan ruang dan
waktu.
Hal inilah yang
dilakukan para ulama kita di negeri ini. Mereka telah berijtihad baik secara
perorangan maupun jama’ah untuk menemukan prinsip dan nilai tersebut, serta
menjabarkan dan menerapkannya di bumi Indonesia pada masa kini. Berbagai
penafsiran ulang dan perumusan baru diperkenalkan. Sekedar memperkenalkan salah
satunya yang mungkin sering terlupakan, yaitu perlakukan terhadap lembaga
perkawinan dan relasi timbale balik suami isteri yang setelah dikaji ternyata lembaga perkawinan dalam
budaya Indonesia jauh berbeda dengan lembaga yang sama di jazirah Arab di masa
lalu.
Namun masih
banyak lagi yang harus dilakukan. Upaya menyaring nilai dan menemukan prinsip
ajaran Islam bukan hal yang mudah, termasuk juga untuk mensosialisasikan dan
menerapkannya sebagai pedoman untuk menyusun pranata kehidupan manusia kini dan
di sini. Masih banyak apa yang
sebelumnya hanya produk pemikiran dan upaya penafsiran dianggap bagian dari
ajaran agama yang universal atau prinsip yang permanen. Untuk itu marilah kita
berupaya dengan sepenuh hati dan seluruh daya upaya untuk membaca, mempelajari
dan menelaah sumber-sumber ajaran agama serta berusaha memahami tuntutan wahyu
dan panduan hadits hingga kita dapat menerapkan ajaran Islam yang rahmat li
al-‘alamin tersebut dalam ruang
waktu kita sekarang ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan
dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat
berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin:
laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
2.
Dalam ajaran agama Islam tidak ada perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, baik sebagai
hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung
jawab, sebagai hamba yang terlibat dalam drama kosmis, dan sebagai hamba yang
berpotensi meraih prestasi.
3. Perbedaan di dalam Alqur’an ditemukan dalam
masalah waris, kesaksian dan kepemimpinan dalam keluarga.
5.
Untuk menghindari ketidak-adilan antara perempuan dan laki-laki perlu
penafsiran ulang terhadap nash-nash yang membahas gender.
B. Saran-saran
Dari sekian pembahasan yang ada meskipun tidak begitu
sempurna makalah ini memberikan beberapa intisari untuk diambil pemahaman yang
menjadikan semua orang positif menerima kenyataan ini, salah satunya bahwa
gender adalah pembahasan yang sangat mengangkat derajat perempuan menempati
tempat yang sama dengan laki-laki sebagai makhluk tuhan.
Karenya tulisan ini bisa dijadikan rujukan positif
memahami perbedaan yang terjadi, sebagai akhir dari segalanya maka disarankan
tulisan ini juga bisa dimanfaatkan dengan semestinya, baik teoritis dan
praktis. Wallahu A’lam Bis-Shawaf.....
DAFTAR PUSTAKA
J John M. Echols
dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia
Vic toria
Neufeldt (Ed.). 1984. Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World
Clevenland
Setda Kota
Medan. 2000. Buku Saku Pemberdayaan Perempuan. Medan
Hisyam Sharabi. 1984. Neopatriachy: a Theory of Distorted
Change in Arab Society. New York Oxford : Oxford University Press
A.Hamid Hasan
Qolay. 1989. Kunci Indeks dan Klasifikasi
Ayat-ayat Alquran. Bandung : Pustaka Pelajar
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender Perspertif
al-Quran. Jakarta :
Paramadina
Comments
Post a Comment